Kamis, 07 Februari 2013

TKI, di Antara Devisa dan Peningkatan Kualitas PEMERINTAH secara bertahap akan menggeser posisi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor domestik di Singapura menjadi TKI formal dengan berbasis pada empat jabatan kerja. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar di Jakarta, Minggu (13/1) empat jabatan kerja itu terdiri pengurus rumahtangga, tukang masak, pengasuh bayi/anak, dan perawat jompo. Konsekwensinya seluruh pekerja yang bakal bekerja di Singapura dibekali keterampilan kerja dan kemampuan bahasa yang baik. Langkah ini juga sebagai persiapan awal penerapn roadmap zero domestic worker pada 2017. Penerapan itu sebagai upaya pembenahan penempatan dan perlindungan TKI serta perbaikan kualitas kompetensi kerja masyarakat Indonesia yang hendak bekerja di luar negeri (LN). Kebijakan diambil pemerintah terhadap TKI di Singapura itu dinilai sangat baik dan membuat posisi tawar pekerja lebih bagus. Selain menjadikan TKI yang hendak bekerja terpesialisasi, juga lebih terjamin baik dari sisi keterikatan kontrak kerja, termasuk soal hak dan kewajiban yang jelas. Lebih penting lagi masalah kejelasan standar gaji, hari libur, jabatan kerja, uraian tugas dan jam kerja serta tanggungjawab dan risiko bekerja yang tidak membahayakan. Selain itu terhadap TKI sendiri harus menguasai minimal bahasa Inggris/mandarin sehingga komunikasi dengan majikan lebih gampang. Letak negara Singapura yang sangat dekat dengan Indonesia, dinilai sangat menguntungkan bagi TKI. Selain sesama satu rumpun dalam ASEAN diharapkan melalui kedekatan itu akan semakin memudahkan bagi pemerintah untuk menjalin akses lebih baik lagi dengan badan-badan yang mengurusi soal tenaga kerja di Singapura. Diharapkan juga melalui sistem yang lebih baik itu bisa diterapkan dalam hubungan kerja di negara lain, di antaranya seperti dengan Malaysia yang selama ini dianggap selalu bermasalah. Meski masih banyak perbedaan termasuk jumlah TKI yang bekerja di Malaysia lebih banyak, namun dari sisi sistem mungkin bisa diterapkan. Dengan makin baiknya sistem digunakan, sehingga sebagaimana harapan kita semua kebijakan roadmap zero domestic worker pada 2017 bisa dicapai. Langkah diambil pemerintah untuk mengatur TKI lebih baik lagi itu sangat penting. Apalagi mengingat peningkatan jumlah pekerja migran untuk bekerja di luar negeri dari tahun ke tahun meningkat signifikan. Hal itu juga merupakan salah satu indikator dari globalisasi atau integrasi internasional. Indonesia sebagai bagian integral dari ekonomi global tidak dapat melepaskan diri dari dinamika tersebut, sehingga pengiriman pekerja migran ke luar negeri berdampak signifikan pada makro ekonomi. Apalagi dalam perkembangannya, negara-negara tujuan TKI juga terus bertambah. Oleh karena itu apapun nama sistem dan hubungan kerja yang dibangun dalam menjalin kerjasama ketenagakerjaan di luar negeri, masyarakat berharap dapat berjalan dengan baik sehingga keberadaan para TKI di luar negeri tidak menimbulkan persoalan. Apalagi terbukti, keberadaan TKI di luar negeri ternyata menghasilkan devisa cukup besar bagi negara. Tercatat pada tahun 2012, TKI memberikan sumbangan devisa mencapai 6,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp.66,6 trilyun lebih. Dari jumlah TKI yang bekerja diluar negeri (berdasarkan data 2010) tercatat jumlah pekerja di Malaysia masih yang dominan mencapai 1,4 juta orang, Saudi Arabia (641 ribu lebih), Asia (611.704), Timur Tengah (379.963), Amerika (130.851), Eropa (59.735). Sedangkan jumlah TKI yang bekerja di Singapura mencapai 128 ribu lebih. Kebanyakan masih bekerja disektor rumah tangga (92 ribu lebih), profesional (20 ribu lebih) dan pelaut (16 ribu lebih). Dengan potensi sumbangan devisa yang cukup besar itu sudah sangat pantas rasanya pemerintah lebih memperhatikan keberadaan para "pahlawan devisa" itu. Pemerintah dinilai sudah saatnya meningkatkan kualitas TKI yang bekerja di luar negeri, khususnya para TKI yang berada di sektor rumahtangga. Dengan makin berkualitas dan baiknya sistem yang mengatur para TKI kita, diharapkan berbagai kasus yang selama ini banyak menimpa para pekerja kita di luar negeri dapat diminimalisir. Sebab berdasarkan data tahun 2010 kasus terbanyak dialami TKI yang bekerja di Timur Tengah mencapai 6.345 kasus, khusus Arab Saudi 4.242 kasus, Asia (3.113 kasus) dan khusus Malaysia mencapai 2066 kasus. Jumlah kasus itu menggambarkan kepada kita betapa lemahnya daya tawar TKI sehingga memicu perasalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar