Kamis, 07 Februari 2013

TKI Sumbang Devisa Negara Terbesar Kedua setelah Migas Kamis, 03 Juni 2010 16:12 dtc/Ant Sumbangan devisa negara yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih menduduki urutan kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas). Pada tahun 2009 saja devisa TKI melalui pengiriman remitansi ke Tanah Air mencapai US$ 6,617 miliar."TKI menyumbang devisa terbesar kedua setelah migas," kata Ketua Pergantian Antar Waktu (PAW) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Adi Putra Tahir dalam acara Seminar Nasional Mengurai Benang Kusut Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (2/6). Ia menuturkan kebijakan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih belum maksimal. Sehingga kata dia pembenahan masalah penempatan dan perlindungan TKI harus menjadi gerakan nasional yang tertata baik dan sinergi. "Saya harapkan ini menjadi gerakan nasional yang rapi, para stakeholder harus berjalan sinergis. Perlu perhatian khusus mulai dari perekrutan, penempatan, bahkan perlindungannya," jelas Adi. Menurut Adi, banyaknya TKI yang bekerja ke luar negeri tidak terlepas dari penyediaan lapangan kerja oleh pemerintah yang masih terbatas. Laju pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 6% masih belum mengangkat ketersediaan lapangan kerja di tanah air. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 3,246 juta orang tersebar di banyak negara. Dari jumlah itu hingga tahun 2009 kasus TKI bermasalah mencapai 69.004 orang. Indonesia bisa menempatkan tenaga kerja luar negeri (TKI) sampai 10 juta orang atau sekitar lima persen dari jumlah penduduknya.Hal tersebut diungkapkan Ketua Komite Tetap Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kadin, Nurfaizi, dalam seminar tentang TKI yang diselenggarakan oleh Kadin di Jakarta, Rabu (2/6). Nurfaizi yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (APJATI) itu membandingkan dengan Filipina yang telah menempatkan 10 persen dari jumlah penduduknya untuk bekerja di luar negeri. "Hasil, Pilipina meraup devisa hingga 15 miliar dolar AS per tahun dan menjadi penghasil yang terbesar dari seluruh devisa yang dihasilkan oleh pemerintah Filipina," katanya. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, katanya, penempatan TKI telah mencapai empat juta orang dan ditargetkan bertambah empat juta orang pada dua tahun mendatang. "Itu bila didukung semua pihak dan komitmen pemerintah yang konsisten," katanya. Peningkatan jumlah penempatan TKI dengan pertumbuhan 21 persen per tahun mulai dari 2004 yang berjumlah 380.690 orang menjadi 696.743 orang pada 2007 dengan negara tujuan Timur Tengah dan Asia Pasifik. Nurfaizi mengatakan penempatan TKI di sektor informal masih mendominasi hingga 78 persen, sedangkan penempatan untuk kawasan Asia Pasifik pada sektor formal bisa mencapai 52 persen pada tahun-tahun terakhir. Secara umum, katanya, ada peningkatan jumlah penempatan TKI yang tidak hanya dilihat sebagai keberhasilan program penempatan TKI, tapi juga meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri. Mengutip data Kemnakertrans, Dirjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, Lutfi Rauf, mengatakan ada 2,8 juta orang TKI pada kurun 2005-2009 dengan "remittance" (pengiriman uang TKI ke dalam negeri) mencapai 6.617 dolar AS pada 2009 dengan 69.004 TKI yang bermasalah selama tahun 2009. Selama 2009, Kemlu berkoordinasi dengan Perwakilan RI telah berhasil mengupayakan pemenuhan hak-hak normatif TKI yang mengalami permasalahan di luar negeri dengan hak-hak normatif yang terhimpun mencapai 438.750 dolar AS dan 326.495 dolar Singapura. Pada Januari - Mei 2010, Kemlu dan Perwakilan RI berhasil memfasilitasi pemenuhan hak-hak normatif TKI sebanyak 156.416 dolar AS, Rp185.736.941, 1.845 dirham Uni Emirat Arab, 4.800 riyal dan 140.000 dolar Singapura. Untuk kasus-kasus TKI antara lain gaji yang tidak dibayar, pelecehan seksual, gaji dibayar rendah, penganiayaan, kasus pembunuhan, kecelakaan kerja, "trafficking" (perdagangan manusia), pelanggaran keimigrasian, dan sebagainya. Lutfi mengatakan kendala yang mereka temukan dalam perlindungan WNI antara lain tidak dipatuhinya aturan dan perundangan, Pemerintah RI belum memiliki perjanjian bilateral dengan semua negara penempatan TKI, pengiriman TKI secara ilegal, dan TKI yang tidak kompeten. Menlu Marty Natalegawa dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI pada 2 Desember 2009 mengatakan masalah perlindungan WNI di luar negeri adalah prioritas Kemlu. (dtc/Ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar